Memproyeksikan Pajak dari Maritim Jawa Barat

Kita ketahui bersama, sejak kampanye hingga akhirnya terpilih dan bekerja pada bulan-bulan awal sekarang, Presoden Jokowi –dengan antara lain dibantu Mentri Kelautan Susi Pujiastuti– sangat intens dalam program maritim.

Jokowi menyadari, sebagai negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, upaya menjadikan semboyan “Jalasveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Jaya) sangat tercermin dalam pelbagai program kerjanya.

Kesadaran memandang laut sebagai bagian sangat penting dalam eksistensi nasional di segala sektor, sekaligus menjadi simbol pemersatu bangsa telah menjadi pemahaman bersama pada saat ini.

Kita melihat, pemerintahan Jokowi-JK konsisten menempatkan program konektivitas laut sebagai salah satu strategi dalam menggali pemasukan bagi masyarakat dan pemerintah khususnya.

Hal ini relevan dengan kondisi Jawa Barat. Secara geografis, kita berbatasan dengan banyak samudera, dimana Jawa Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Propinsi DKI Jakarta di sebelah utara.

Juga, Samudera Indonesia di sebelah selatan, Propinsi Banten di sebelah Barat, dan Propinsi Jawa Tengah di sebelah timur. Jadi, dua dari empat zona perbatasan ada di lautan.

Memang, provinsi ini lebih kental dengan busur kepulauan gunung api, baik aktif maupun mati. Sebagai satu bagian dari lempeng sabuk gunung api, bentangannya mulai dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi.

Terdapat beberapa gunung api aktif seperti Gunung Ciremai (3078 m/dpl); Gunung Gede (2958 m/dpl); Gunung Galunggung (2.618 m/dpl) dan Gunung Tangkuban Parahu (2.084 m/dpl).

Namun sektor maritim tak kalah besar. Dari aliran sungai saja, ada Sungai Citarum (268 Km); Sungai Cimanuk (258,4 Km); Sungai Cidurian (181,5 Km), Sungai Cipunegara (148 Km); Sungai Ciujung (147,2 Km); Sungai Cisadane (144 Km); Sungai Citanduy (130 Km); dan Sungai Ciliwung (118,5 Km).

Beberapa danau atau dalam bahasa Sunda disebut situ banyak terhampar dan menghiasi daratan Jawa Barat baik yang merupakan danau alami yang terjadi karena proses alami maupun danau buatan yang merupakan buatan manusia.

Danau-danau tersebut diantaranya Situ bagendit di Garut; Situ Gede di Tasikmalaya; Situ Panjalu di Ciamis; Danau jatiluhur di Purwakarta; Waduk darma di Kuningan; Waduk Rentang di Indramayu; Situ Cileunca di Pengalengan Bandung; Situ Patenggang di Ciwidey; Situ Lembang di Lembang Bandung.

Maka berbicara laut, kita bisa bicara di wilayah pantai utara maupun selatan.
Mengacu data pemprovjabar.go.id, kedua wilayah itu memiliki potensi ikan, kerang, mutiara, udang, rumput laut, dll.

Selain kekayaan konvensional, ternyata wilayah pantai yang demikian membentang luas dan panjang ini memiliki potensi listrik energi ombak dan atau gelombang dan angin.

Persoalannya adalah akses ke potensi lautan ini, terutama di kawasan selatan, belum begitu baik. Padahal jalan ini yang dapat memperlancar arus barang yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Jadi, isu strategisnya, program maritim Presiden Jokowi menemui kendala klasik yakni akses jalan yang belum merata dengan baik, sehingga program percepatan maritim menemui kendala awal.

Akan tetapi, hal ini bukanlah tembok besar penghalang. Kita ingat bahwa yang utama dari program maritim ini adalah tol laut yang menekankan pembangunan infrastruktur dan revitalisasi pelabuhan.

Terjadi perubahan paradigma dari land oriented menjadi maritime oriented, dimana ketersambungan potensi ekonomi tak dominan pada jalan darat namun pada akses laut yang memang lebih powerfull.

Sekiranya tol laut ini terbangun, tentunya akan banyak potensi pajak yang dapat digali melalui penggalian potensi berbagai sektor seperti sektor pembangunan infrastruktur pelabuhan, pembangkit listrik dan industri pendukung lainnya .

Proyek mega besar tol laut akan mengundang banyak investor berinvestasi di Indonesia serta dapat mendorong pertumbuhan di banyak sektor industri seperti logistik, perkapalan dan industri lainnya.

Dengan sendirinya, proyek ini diharapkan dapat menciptakan efek pengganda bagi perekonomian Indonesia yang diharapakan dapat berkontribusi terhadap penerimaan pajak.

Sektor lain yang terkait dengan keberadaan tol laut adalah pariwisata berbasis bahari yang menjadi daya tarik indonesia, dan akan menambah daya tarik ini sekiranya koneksi semua laut sudah ada.

Diperkirakan ada 20 juta wisatawan akan berkunjung, sebagian dari mereka melalui laut ini, sehingga ada banyak peluang baru perpajakan dari implementasi program maritim tersebut.

Jadi, melihat besarnya potensi pajak dari sektor kemarintiman, termasuk di Jawa Barat, maka tugas kita bersama untuk menyatukan langkah dan optimisme guna terus menggali potensi penerimaan pajak lebih baik. ***