Yang Terlewatkan dari P2 Pemerintah Pusat dan Daerah

Praktis sejak awal tahun 2014 ini, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) tidak lagi dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP) namun sudah diserahkan ke daerah.

Hal ini adalah amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bahwa selambat-lambatnya tahun 2014, pengelolaan pajak PBB sektor P2 dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota.

Praktis, DJP kini efektif mengelola PBB sektor selain Perdesaan dan Perkotaan yakni sektor bukan P2, yaitu sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan atau sering disingkat dengan nama sektor P3.

Lantas, bagaimana setelah P2 diserahkan ke daerah? Yang namanya baru, pasti ada proses transisi. Faktanya pemerintah kabupaten/kota masih terus menyesuaikan dari sisi regulasi, IT, SDM, sosial, dan aspek lainnya.

Satu hal menarik seperti yang terlewatkan, sebagaimana diungkap pada pajak.go.id, pengalihan menghadapi situasi geografis yang unik. Yakni tidak seluruh wilayah NKRI adalah wilayah propinsi, dan tidak seluruh wilayah propinsi adalah wilayah kabupaten/kota.

Ada wilayah ‘tak bertuan’ yang hanya menjadi bagian wilayah NKRI tetapi bukan wilayah propinsi manapun, serta ada bagian wilayah sebuah propinsi tetapi bukan wilayah kabupaten/kota manapun.

Padahal pengalihan ini memang bertujuan memayungi perbedaan lingkup kewilayahan antara pusat dan daerah, dimana lingkup DJP bagian dari pemerintah pusat dan lingkup kewilayahan pemerintah kabupaten/kota adalah wilayah administratif.

Lalu, daerah apakah yang tak bertuan itu? Wilayah seperti itu utamanya ada di laut, sehingga ada potensi hilangnya pajak PBB P2 sebagai dampak belum adanya institusi pengelola pajak yang bisa menarik PBB P2 di wilayah itu.

Penyebab munculnya wilayah tak bertuan ini adalah regulasi yang mengatur bahwa pemerintah kabupaten/kota hanya memperoleh kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut sejauh empat mil diukur dari garis pantai ke arah laut seperti diatur Pasal 18 ayat (4) UU nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Selanjutnya wilayah laut lebih dari 4 mil sampai dengan 12 mil adalah kewenangan pemerintah propinsi, sedangkan wilayah sisanya lebih dari 12 mil adalah kewenangan pemerintah pusat.

Menghadapi persoalan wilayah tak bertuan ini, atau wilayah abu-abu (bukan masuk P2 dan bukan pula P3), maka pendekatan regulasi yang harus diterapkan. Terutama mengacu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 139/PMK.03/2014 tertanggal 10 Juli 2014.

Yang isinya menegaskan kondisi-kondisi jika suatu objek pajak PBB tidak termasuk objek pajak PBB P2 dan tidak pula termasuk objek pajak PBB P3, maka tetap bisa dikenakan PBB sebagai objek pajak PBB Sektor Lainnya (Sektor Keenam). Sementara institusi yang berwenang mengenakannya adalah DJP.

Sebab, wilayah laut yang areanya seringkali lintas kabupaten/kota dan lintas laut, akan lebih dioptimal pemerintah pusat serta sekaligus menghindari konflik antar kota/kabupaten yang sama-sama merasa memiliki.

Sekalipun demikian, harus difahami bersama tentang kewenangan pemerintah pusat akan Pajak Keenam ini, bahwa dikotomi pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus terus dikikis demi kepentingan nasional.

Prinsipnya, tidak ada bedanya apakah pemerintah pusat ataukah daerah yang mengelola sektor pajak tertentu. Sebab yang utama, sekali lagi, adalah bagaimana meningkatkan dan mengoptimalkan penerimaan negara keseluruhan.

Jadi, apabila dipandang pajak lebih optimal dikelola pemerintah pusat, maka amanah diberikan kepada pemerintah pusat. Sebaliknya jika dipandang lebih optimal dikelola pemerintah daerah, maka amanah diberikan ke pemerintah daerah.

Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah sinergi dan kerjasama. Bukan hanya dalam persoalan P2, P3, ataupun pajak keenam ini, akan tetapi saling membantu di semua jenis pajak yang ada.

Misalnya saling memberikan data dan informasi perpajakan antara pusat dan daerah sebagai hal penting yang harus terus diintensifkan. Dengan demikian, kemakmuran Indonesia dapat dicapai lebih baik. ***