Kesadaran Perbedaan Negeri Melalui Pajak

Sejak pertama berdiri dalam sebuah wadah kesatuan, baik saat masih diinvasi apalagi setelah merdeka, Nusantara adalah identitas bermacam rupa dan warna yang penuh perbedaan. Sangat kaya dan beragam.

Dengan luas 1.922.570 km persegi, atau terbesar ke-15 di dunia, plus terletak terletak diantara dua Samudra ( Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ) dan dua benua (Asia dan Australia ), maka bauran pun terjadi.

Mau tak mau, suka tidak suka, Indonesia menjadi negara tempat pertemuan berbagai budaya di dunia, sehingga memunculkan berbagai varian suku, etnis, dst, dari banyak negara.

Bahkan identitas budaya paling elementer yakni bahasa, dimiliki dengan kuat di negeri ini. Indonesia menempati urutan kedua setelah Papua Nugini sebagai negara dengan keanekaragaman bahasa terbanyak di dunia!

Dari 8.000 bahasa yang ada di dunia, 800 bahasa itu ada di Indonesia. Belum dengan khazanah kekayaan budaya meliputi motif batik, tarian, cerita rakyat, arsitektur, lagu, dst yang berjumlah hampir 30 ribu.

Menariknya, bauran ini diperkaya dengan sebaran yang demikian meluas. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, posisinya banyak yang yang terpisahkan kekayaan lautan di negeri kita.

Sebut misalnya warga masyarakat dari Talaut (Sulawesi) yang harus membutuhkan waktu selama dua minggu hingga satu bulan untuk mengurus surat nikah dan kepentingan hidup lainnya.

Maka itu, selain sebagai sebuah kekayaan dan peluang, perbedaan ini pula bisa memunculkan banyak persoalan. Sebab, bauran ini sendiri otomatis melahirkan perbedaan kualitas hidup hingga kesenjangan sosial.

Karena itulah, pendiri bangsa telah menyadari adanya keragaman daerah sampai keragaman sumber-sumber penghasilan dari suatu daerah dibandingkan dengan daerah lain.

Maka tak perlu heran, tak perlu mempertanyakan apalagi protes jika kewajiban bernegara dalam bentuk pajak pun sudah dipikirkan dengan adanya pembagian institusi kewenangan pajak. Alias adanya Pajak Pusat dan Pajak Daerah.

Pembagian kewenangan tersebut tidak semata permasalahan bagi hasil semata, namun yang utama adanya semangat kesatuan antar daerah untuk berbagi dengan daerah lain, terutama daerah terisolir tadi.

Spirit perbedaan yang direspon gotong-royong membayar pajak di tingkat pusat dan daerah pada akhirnya bermuara pada pembagian yang adil dan berimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Di sinilah peran penting Pemerintah Pusat, terutama Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, agar senantiasa memberikan pemahaman bagi pemimpin baik di pusat maupun para pemimpin di daerah.

Sebaliknya pemerintah daerah harus mendukung dengan ikut mendorong pemungutan pajak pusat di daerah sebagai sumber utama penerimaan APBN.
Simbiosis mutualisme sebagai dasar sedari awal.

Apalagi dalam bingkai negara kesatuan, keduanya tidak dapat berdiri sendiri.
Sehebat apapun sebuah daerah misalnya, akan tetap membutuhkan bantuan finansial dari pemerintah pusat. Demikian pula sebaliknya.

Dukungan pemerintah daerah terhadap unit vertikal Direktorat Jenderal Pajak yakni kantor-kantor vertikal Direktorat Pajak yang membawahi wilayah yang sama dengan pemerintah daerah mutlak diperlukan.

Pajak-lah yang menjadi nyawa pembangunan, untuk itulah proses pemungutannya, baik pajak daerah maupun pusat harus mendapat dukungan dari masing-masing pemimpin di daerah.

Kita harus selalu ingat, dengan rentang perbedaan budaya, geografis, etnis, dan terutama latar historis hadirnya bangsa ini, maju dan sejahtera bersama merupakan tujuan utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia!