Membesarkan Negeri dari Orang Kaya

Kondisi perpajakan di Indonesia bisa dibilang belum terlalu menggembirakan. Dalam tujuh tahun terakhir, terutama untuk penerimaan pajak pemerintah pusat, target yang dipatok selalu meleset.

Hal ini tentu mengkhawatirkan jika mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Padahal, idealnya, pajak menjadi sumber dana pembangunan yang hasilnya nanti akan kembali dirasakan masyarakat.

Salah satu yang biasa dihadapi regulator perpajakan, entah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan di pusat ataupun Dinas Pendapatan di provinsi dan kabupaten, adalah memaksimalkan penerimaan pajak yang belum optimal.

Menjadi tantangan bersama untuk menggenjot rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) minimal bisa menyentuh angka 15 persen. Posisi saat ini masih di kisaran 11-12 persen, sebagaimana pernah diutarakan Wakil Presiden Boediono.

Situasi ini disebut undertaxing, rasio pajak yang belum sepadan terhadap PDB. Prihatinnya, rasio 12 persen ini adalah terendah di Asia! Padahal dari banyak faktor, seharusnya tak terjadi.

Data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Februari 2014 lalu menunjukkan, ada 60 juta orang yang sudah masuk kategori di atas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Namun, baru 25 persen wajib pajak individu yang memenuhi kewajibannya.

Dengan demikian, masih ada 40 juta orang yang belum bayar pajak. Sementara itu, jika dilihat dari surat pelaporan tahunan (SPT), yang telah menyerahkan SPT baru 8,8 juta orang.

Tambah miris jika kita lihat, bahwa rendahnya kesadaran bayar pajak juga terjadi pada kalangan orang kaya. Kita awali pembahasan ini dengan melihat rekening yang dicatat Bank Indonesia.

Tercatat, dari nilai total rekening ratusan triliunan rupiah, 180.000 rekening diantaranya berisikan simpanan di atas Rp 2 miliar. Merekalah yang antara lain bisa kita klasifikasikan sebagai orang kaya.

Faktanya, seperti dikatakan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany, Juni 2014 lalu, mengatakan masih banyak orang kaya di Indonesia yang tidak membayar pajak sesuai dengan kewajibannya.

Hal itu terlihat dari timpangnya pertumbuhan ekonomi dan semakin banyaknya orang kaya dibanding dengan realisasi penerimaan pajak dari orang pribadi. Jadi, aktivitas dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia terus meningkat, tetapi jumlah orang pribadi yang membayar pajak masih sedikit.

Salah satu indikatornya terlihat dari realisasi penerimaan pajak pada 2013 untuk karyawan atau PPh 21 sebesar Rp 90 triliun sementara PPh orang pribadi pada tahun lalu sebesar Rp 4,4 triliun. Sangat kontras bedanya.

Banyak orang kaya yang diduga merekayasa kepemilikan kekayaannya sehingga menyulitkan direktorat untuk menghitung kewajiban pajak yang sebenarnya. Contohnya ada orang kaya yang memiliki mobil Lamborghini dan tak membayar pajak, tapi tak bisa disentuh Ditjen Pajak yang tak memiliki akses ke data rekening bank si pemilik mobil mewah tersebut.

Sekiranya Ditjen Pajak bisa mengakses rekening bank, orang kaya yang tak patuh itu tak lagi bisa mengelak. Ada beberapa hal yang membuat orang kaya seolah enggan bersama-sama membesarkan negeri ini.

Penyebabnya antara lain mereka sudah takut duluan terbebani pajak tinggi, sehingga banyak ditemukan ketidakjujuran pada saat pengisian SPT pajak. Selain itu, orang kaya cenderung cuek dan abai dalam pelaporan pajaknya pada negara.

Dari sisi modus, ada pula indikasi melarikan keuntungan kena pajaknya ke wilayah yang tak menerapkan pungutan negara. Banyak yang yang menanamkan keuntungan di wilayah seperti Cayman Island, Swiss, dan negara lain yang kerap disebut surga pajak.

Tax Havens

Jika kondisi seperti ini terus terjadi, termasuk yang terkait tugas Dinas Pendapatan Provinsi Jabar, maka hal ini akan sejalan dengan analisa mantan kepala ekonom konsultan McKinsey, James Henry, pada tahun 2012 lalu.

James Henry telah mengeluarkan studinya soal penyelewengan pajak di luar negeri atau lebih populer dengan sebutan tax havens.

Menurut laporan tersebut, terdapat 21 triliun dollar atau setara Rp 198.113 triliun pajak pengusaha di seluruh dunia yang seharusnya masuk kantong pemerintah, namun diselewengkan.

Siapa sangka di antara pengusaha-pengusaha itu sebagian kecilnya berasal dari Indonesia.

Menurut hasil investigasi International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ), terdapat sembilan yang termasuk orang terkaya di Indonesia diketahui menyelewengkan pajaknya di luar negeri melalui lebih dari 190 perusahaan dan lembaga pengelolaan uang di luar negeri.

Menurut hasil investigasi tersebut, kekayaan sembilan konglomerat yang mendominasi politik dan ekonomi Indonesia itu bila digabung mencapai USD 36 miliar Rp 348,8 triliun seharusnya masuk kas negara.

Sampai kapan mereka yang mampu terus egois? Sampai kapan saudara-saudara kita yang diberi rezeki lebih tak memedulikan negerinya? Semoga tidak terus begini, semoga pula hati nurani orang mampu tetap tajam sekaligus ikut berpartisipasi mengikis kesenjangan sosial di negeri ini. (***)