Ekstensifikasi Melalui Pajak Belanja Online

Hari ini, setidaknya di Kota Bandung khususnya dan kota lainnya di Jawa Barat, gadget dan internet adalah bagian dari helaan nafas. Maksudnya, kita semua sudah sedemikian bergantung kedua instrumen tadi hingga bisa mati (gaya) jika tidak mengaksesnya.

Selain menunjang produktivitas, fungsi keduanya pun tidak bisa lepaskan dari instrumen baru kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang bergantung kepada teknologi dalam melakukan relasi individu dan kelompok. Menariknya, ikatan relasi ini juga diperkuat gaya hidup eksis-narsis yang kian kentara.

Cerita adiksi ini kian berlanjut jika kita mengingat betapa kemacetan telah pula menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat urban di Jawa Barat. Kemanapun melangkah, terkecuali dini hari, kita selalu disergap antrian kendaraan. Akhir pekan pun selalu disergap macet mengular.

Karena itulah, tingkat ketergantungan kepada gadget dan internet, boleh jadi kian menguat dengan fenomena kemacetan ini. Dalam artian, akses remote menjadi pilihan dalam menyelesaikan berbagai hal. Termasuk diantaranya adalah berbelanja secara online.

Sejumlah fakta mengejutkan datang dari Indonesia terkait belanja via internet ini. Data dari Mastercard, penyedia jaringan kartu kredit terbesar di dunia, tahun 2013 lalu menyebutkan, pada tiga bulan pertama tahun 2013, Indonesia menduduki posisi tertinggi pengguna belanja online.

Hasil survei Master Card menunjukkan, sekitar 54,5 persen responden asal Indonesia menggunakan telepon seluler pintar mereka untuk berbelanja online.
Survei provider tersebut juga menyebutkan pengguna ponsel pintar untuk belanja online di Indonesia berada di peringkat teratas untuk kawasan Asia Pasifik. Posisi Indonesia diikuti Cina (54,1 persen responden) dan Thailand (51 persen responden).

Padahal, jika menilik data Bank Dunia di tahun yang sama, orang Singapura jauh lebih kaya dari Indonesia namun kalah jauh dalam urusan belanja online.Simak saja: Pendapatan per kapita orang Indonesia tahun 2012 sebesar US$ 4.956, atau hampir 1/12 dari orang Singapura sebesar US$ 60.799!

Bahkan prediksi sejumlah praktisi e-commerce, belanja online sudah menyeruak hingga ke luar Pulau Jawa. Sebab, banyak konsumen di pulau tersebut yang memiliki daya beli kuat namun kesulitan menentukan tempat belanja yang mudah dijangkau.

Bagi mereka, belanja online merupakan salah satu opsi yang paling nyaman. Makanya, konsumen di Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua sebenarnya mempunyai banyak uang, tapi mereka tidak tahu di mana belanja karena terkendala transportasi.

Hal ini pula yang mendorong sejak tahun lalu, tanggal 12 Desember ditetapkan sebagai Hari Belanja Online Nasional. Hal ini mengacu kesepakatan beberapa pemain dalam industri e-commerce besar Indonesia, seperti Lazada, Zalora, Oxl, dst.

Pada hari itu, peretail yang berpartisipasi akan aktif mempromosikan hari tersebut serta memberikan diskon-diskon dan promosi menarik bagi konsumen, mirip dengan Cyber Monday di Amerika Serikat atau 11.11 di China.

Ketika euforia berbelanja di Indonesia ini terus terjadi, seperti dilansir tempo.co, pemerintah Argentina malah mengeluarkan peraturan yang membatasi kegiatan belanja daring guna menghentikan jatuhnya cadangan mata uang asing lebih lanjut.

Setiap orang yang membeli barang melalui situs internasional perlu menandatangani deklarasi di kantor bea cukai setempat. Prosedur yang sama akan diulangi lagi untuk setiap pembelian baru.

Dalam peraturan itu, setiap orang diizinkan membeli barang dari luar negeri hingga senilai US$25 (Rp300.000) dengan bebas pajak setiap tahunnya.

Tetapi jika total jumlah pembelian barang dari luar negeri telah mencapai lebih dari US$25, pembeli online di Argentina harus membayar pajak 50% pada setiap item yang dibeli dari situs internasional.

Dengan peraturan baru ini, produk yang diimpor melalui website seperti Amazon dan eBay tidak lagi dikirim ke alamat rumah pemesan, tetapi ke kantor bea cukai.
Pemerintah memperketat pembatasan sejak 22 Januari 2014 lalu sekaligus membatasi pembelian bebas pajak hingga dua tahun. Jadi, sepantasnya kita bersyukur!

Pajak Belanja Online

Di tengah berbagai kemudahan yang ditawarkan di Indonesia, padahal di negara lain sangat dibatasi, maka sudah sewajarnya jika masyarakat Indonesia memberikan kontribusi balik kepada bangsa ini. Kita tak boleh lupa membangun di tengah berbagai akses yang diterima.

Karena itulah, sebagai salah satu bentuk kontribusi tersebut adalah rencana penerapan pajak belanja online. Inisiasi ini sudah dimulai ketika Januari 2014 lalu, Kementerian Perdagangan bersama Komisi VI DPR telah menyepakati Rancangan (Revisi) Undang-Undang Perdagangan Indonesia.

Dalam aturan yang kini sudah diketokpalu menjadi UU No 7/2014 tentang Perdagangan ini, pemerintah akan mengatur mekanisme perdagangan online.
Hal ini dirasa penting selain agar terjadi ekstensifikasi pajak, juga agar melindungi pedagang online Indonesia dari serbuan pedagang online luar negeri.

Padahal persaingan sudah demikian dahsyat, sebab raksasa sekaliber amazone.com pun telah lama berbisnis di negeri kita. Di sisi lain, pemberlakuan pajak juga dimaksudkan untuk mengontrol pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas perdagangan di Internet ini. Sehingga ada jaminan hak, kewajiban, serta tanggung jawab pihak yang terlibat dalam transaksi belanja.

Dalam perkembangannya, saat ini pembahasan teknis penerapan pajak belanja online ini terus dilakukan dengan digawangi dua kementerian terkait yakni Kementrian Keuangan dan Kementrian Perdagangan. Diharapkan, petunjuk teknisnya telah terbit sebelum akhir tahun ini.

Memang, sudah selayaknya berbagai kemudahan yang diterima masyarakat (termasuk dalam urusan akses belanja yang praktis dan anti macet ini) kita kembalikan lagi ke pemerintah. Sebab, kebaikan pasti akan muncul jika semua dari kita tahu bagaimana berterima kasih dan berkontribusi kepada negeri. (***)