Melepas Ketergantungan Dana Pusat

Komponen pendapatan dan belanja pemerintah daerah di Indonesia, apapun kota dan kabupatennya, relatif sama satu sama, bahkan cenderung identik. Terutama jika kita berbicara dari sisi pendapatan.

Selain yang sudah pasti yakni pajak dan retribusi daerah, komponen lain pendapatan tentu saja dana perimbangan (dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat serta dana bagi hasil).

Yang menjadi menarik adalah, sekalipun sudah berganti beberapa periode presiden maupun menteri, ternyata pola pendapatan ini hampir memiliki pola sama dimanapun. Terutama pada era setelah reformasi dijalankan.

Polanya adalah minimal 25% dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) alias milik pemerintah pusat disalurkan sepenuhnya ke pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Ketergantungan yang relatif tinggi.

Jika persentase ini diturunkan lagi, mengacu data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ternyata sama dengan fakta 90% pemerintah daerah menggantungkan 50% lebih pembiayaannya dari Dana Perimbangan yang diterima.

Mengapa kondisi ini terjadi? Ketua BPK Rizal Djalil dalam publikasi sejumlah media pertengahan Juni lalu mengungkapkan, kondisi ini terjadi salahsatunya akibat kurang optimalnya pemda menggali dan meningkatkan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Bahkan, salah satu komponen dana perimbangan yakni dana bagi hasil pajak pun, masih terpaku pada kontributor itu-itu juga. Ambil contoh Kota Bandung sebagai kota penerima bagi hasil terbesar di Jawa Barat.

Betul memang Kota Bandung mencatat potensi dan realisasi raihan bagi hasil terbesar dibandingkan seluruh kota/kabupaten di Jawa Barat.

Data Dinas Pendapatan Provinsi Jabar sepanjang tahun 2013 lalu mencatat, Kota Bandung meraih realisasi terbesar potensi terbesar dari empat komponen tradisioonal yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan Pajak Air Permukaan (APER).

Ini berarti, ketergatungan pada pemerintah di atasnya, hampir setali tiga uang dengan ketergantungan pemerintah provinsi ke pemerintah pusat. Maka itu, pola ini jadi merata di semua jenjang pemerintahan.

Di sisi lain, masih mengacu data BPK, pola serumpun terkait keuangan daerah ini adalah ketergantungan ke pemerintah pusat ini disertai dengan tingginya alokasi untuk belanja pegawai dibandingkan untuk belanja modal.

Belanja pegawai sejak tahun anggaran 1994/1995 sampai dengan tahun anggaran 2012 terus meningkat dari sisi jumlahnya. Jika pada 2001 proporsi belanja pegawai terhadap transfer dana alokasi umum mencapai 67,51 persen, maka pada 2012 proporsi tersebut telah mencapai angka 96,27 persen.

Bahkan, peningkatan proporsi belanja pegawai atas transfer daerah sempat melampaui nilai 100 persen yaitu pada 2010 dan 2011 yang masing-masing mencapai 103,43 persen dan 101,89 persen.

Ini berarti, transfer dari pemerintah pusat yang demikian diharapkan pemda, lebih banyak digunakan untuk alokasi gaji, tunjangan, dst. Sementara belanja modal yang berarti pembangunan infrastruktur relatif lebih sedikit.

Dua pola baku ini, mengacu istilah Rizal Djalil, gilirannya telah menciptakan besarnya derajat ketergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat, sehingga pemerintah pusat akan alami financial distress (tekanan berat keuangan) karena kesulitan menanggung beban keuangan daerah.

Oleh karena itu, menjadi sebuah bahasan menarik tentang bagaimana mengikis ketergantungan dana pusat ini seraya berusaha terus melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi pendapatan asli daerah.

Bukan berarti dana perimbangan menjadi sesuatu yang tabu sebab di era desentralisasi, dana tersebut memang hak pemda. Akan tetapi, meletakkan kebutuhan sedemikian tinggi ke pusat cenderung merugikan diri sendiri.

Pemda jelas tidak akan bisa cepat bergerak, sebab proses birokrasi demikian panjang, membuat proses transfer pun perlu waktu dan proses lama. Padahal sudah pasti, kebutuhan belanja sulitlah ditunda-tunda.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jika ketergantungan ini tidak segera dikurangi, jelaskah akan mencipta kecanduan tersendiri. Adiksi demikian besar, seraya melupakan kekuatan potensi milik sendiri.

Setidak-tidaknya ada beberapa hal yang bisa dijadikan alternatif solusi menggenjot pendapatan sendiri. Pertama, meningkatkan kemampuan inventarisasi potensi sekaligus merespon kreatif atas database tersebut.

Kerapkali potensi pendapatan asli daerah tidak tergali dengan baik sebab data dasarnya tidak semua tercatat apalagi dikuasai pemerintah daerah. Bahkan, yang meraih untung malah pihak ketiga yang tak berkepentingan.

Karena itu, investarisasi yang tentu saja berbasis sensus/pemetaan akurat, harus terus dilakukan. Setelah ada, pemda di era modern ini tidak bisa pula dengan serta merta menetapkan pajak pungutan karena publik cenderung antipati.

Diperlukan pemikiran kreatif dan inovatif dalam melahirkan regulasi perpajakan, misalnya disertai dengan berbagai insentif dalam periode tertentu, sehingga potensi aset dari data baru bisa sukarela membayar.

Intinya, tidak mungkin PAD akan bertambah signifikan (yang sekaligus mengurangi tingkat ketergantungan ke dana perimbangan) kalau mata, telinga, dan pikiran kita tidak benar-benar mengenali potensi milik sendiri.

Kedua, menetapkan alokasi bujet yang lebih berani, dimana dana perimbangan lebih diprioritaskan untuk belanja modal dibandingkan belanja pegawai. Hal ini memang tidak mudah, meski bukan tidak mungkin.

Ketika kita tahu bahwa dana dari pemerintah pusat adalah keniscayaan, dan di sisi lain masyarakat sangat membutuhkan peningkatan infrastruktur, maka sepatutnya dana perimbangan bisa diprioritaskan bagi belanja modal.

Hal ini pun berarti secara simultan bahwa belanja pegawai lebih baik diprioritaskan bersumber dari pajak dan retribusi daerah. Jadi, alokasi keduanya jelas dan terukur, peruntukannya sesuai dengan porsi.

Pada akhirnya, semua akan bergantung pada tekad seluruh pemangku kepentingan, terutama kepala daerah dalam memutus pola baku pendapatan dan pengeluaran yang masih harus dioptimalkan ini.

Tentu, seluruh dari kita (terutama masyarakat) akan merugi sekali seandainya proporsi belanja pegawai dari dana perimbangan melebihi batas seperti terjadi tahun 2010 dan 2011 yang masing-masing mencapai 103,43 persen dan 101,89 persen.

Sebaliknya, publik dan seluruh pemangku kepentingan akan diuntungkan manakala proporsi ini kian menipis, bahkan penggalian PAD (melalui dua alternatif solusi di atas tadi) terus digenjot sehingga belanja modal bisa terus naik ke depan. ***