Ketika Nanti Tak Lagi Primadona

Jika kita membedah keuangan pemerintah daerah di Indonesia, tentu saja di dalamnya termasuk 27 kota dan kabupaten serta 1 pemerintah provinsi di Jawa Barat, maka akan tercetak pola jelas.
Pola tersebut adalah tingginya nilai bagi hasil dari pemda tersebut, yang terutama bersumber dari pajak kendaraan, khususnya dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). 
Sebenarnya ada satu lagi yang masih terkait yakni Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dimana pungutan diterapkan dan jadi pendapatan untuk setiap tetes liter yang masuk kendaraan kita.
Pola ini memang wajar adanya jika kita melihat betapa lonjakan kepemilikan kendaraan, terutama kendaraan pribadi, di Indonesia sudah termasuk grafik eksponensial sehubungan pertumbuhan signifikannya.
Betapa kendaraan pribadi semakin kuat menjadi simbol status sosial, sehingga lonjakan pembelian sulit dibendung. Ini membuat lesatan terjadi karena tahun 1987 total kendaraan se-Indonesia hanyalah 7,9 juta unit (Sumber: BPS).
Tahun 2000 jumlahnya menjadi 18,9 juta unit, hingga sepuluh tahun kemudian atau tahun 2010 kembali meroket jadi 76,9 juta. Diprediksikan, mengacu data Polri, jumlah kendaraan tahun lalu mencapai 104,211 juta unit! Dari jumlah tersebut, populasi terbanyak masih disumbang sepeda motor jumlah 86,253 juta unit, mobil penumpang 10,54 juta unit, serta populasi mobil barang (truk, pikap, dan lainnya) 5,156 juta unit.
Jika kita sekedar melihat bagi hasil yang diraih pemda, tentulah ini menyenangkan. Semakin banyak kendaraan, dengan sendirinya semakin besar bagi hasil yang akan diterima oleh sebuah pemda.
Sebutlah Kota Bandung. Tahun lalu, memperoleh nilai bagi terbesar di seluruh Jawa Barat dengan kontributor berurutan yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan Pajak Air Permukaan (APER).
Situasi ini sebenarnya juga hampir sama diikuti oleh kota lainnya di Jawa Barat, dimana hal ini menunjukkan laju cepat kepemilikan kendaraan bermotor pada masyarakat Tatar Parahiyangan ini.
Setelah Kota Bandung, berurutan rangking dua dan tiga, potensi pendapatan terbesar diikuti oleh Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor. Kontributor bagi hasil terbesar untuk Kota Bekasi adalah PKB, Kabupaten Bekasi (BBNKB), sementara Kabupaten Bogor bersumber dari PBBKB.
Akan tetapi, seiring dengan terus tumbuhnya angka ini, maka seketika pula sebenarnya potensi stagnansi pendapatan bagi hasil menganga di depan mata. Ada dua hal yang menjadi alasan utamanya.
Pertama, pertumbuhan kendaraan ini juga telah terbukti menciptakan kemacetan luar biasa di berbagai kota di Jawa Barat. Bahkan, Kota Bandung menurut Kementerian Ekuin tahun 2011 termasuk satu dari enam kota termacet di Indonesia.
Kedua, secara perlahan namun pasti telah terjadi kesadaran global akan kampanye budaya hidup sehat dan ramah lingkungan. Salah satu bukti konkretnya adalah munculnya gerakan bersepeda dan kembali ke transportasi publik.
Dua alasan ini pasti akan muncul jika melihat betapa menakutkan dampak kemacetan lalu lintas.  Di Sao Paulo, Brazil misal, Majalah Time menyebutkan, pada 9 Mei 2008 tercatat sejarah rekor kemacetan di kota tersebut, yakni antrian kemacetan sepanjang 166 mil atau sekitar 266 km.
Di Los Angeles, mengacu data IBM Commuter Pain Study (ICPS) dan INRIX Traffic Scorecard, mencatat bahwa rata-rata pengemudi di Los Angeles menghabiskan waktu dalam kemacetan selama 59 jam per tahun!
Bagaimana Indonesia? Data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan, kendaraan roda empat di Jakarta hanya mampu melaju secara maksimal kecepatan 9 kilo meter per jam pada jam sibuk lalu lintas.
Padahal di tahun 1980-an, kendaraan roda empat mampu melaju dengan kecepatan 90 km/jam pada waktu yang sama, berkurang menjadi 19 km/jam pada 1990-an dan menjadi hanya maksimal 9 kilo meter per jam pada akhir 2011.
Di saat bersamaan, pertumbuhan jumlah transportasi publik seperti bus sangat jauh di bawah mobil pribadi, barang, atau sepeda motor, yakni hanya rata-rata hanya naik 1 persen dari tahun sebelumnya.
So, kesimpulannya adalah primadona bagi hasil dari pajak kendaraan bagi banyak pemda di Jawa Barat mungkin akan segera habis masa b ulan madunya. Tak bisa kita terus terlena dengan ‘kemolekan’ sang primadona.
Ketika kesadaran masyarakat kian meningkat untuk bergaya hidup sehat, ketika publik sudah jenuh dengan polusi dan kejenuhan di jalan raya, ketika itu pula dibutuhkan pandangan jauh ke depan mensiasatinya.
Sepatutnya dari sekarang mutlak dipikirkan terobosan apalagi yang harus diterapkan agar pendapatan asli daerah terus menyusut seiring dengan potensi penurunan pembelian kendaraan bermotor ke depan, misalnya.
Sejarah terus menunjukkan, mereka yang terlena dengan zona nyamannya, mereka itu pula yang beroleh giliran pertama dilindas berbagai perubahan. Mari terus bergerak mengimbangi aneka dinamika, tentu agar kita selalu sejahtera. (**)