Mengantisipasi Hari Esok

Tak bisa dipungkiri, sadar tidak sadar, suka tidak suka, salah satu sektor hidup yang kian menyebar dan merakyat di Jawa Barat/Jabar adalah teknologi informasi komunikasi (TIK). Baik berbentuk perangkat keras maupun peranti lunak, semua dari kita tak bisa lepas dari sektor yang satu ini.
Diprediksi, dari berbagai data yang dihimpun, sedikitnya 15-20 persen populasi pengguna TIK di Indonesia berada di Jawa Barat. Ambil contoh pengguna layanan seluler yang tahun ini mencapai 220 juta, sehingga ATSI (Asosiasi Telepon Seluler Indonesia) memperkirakan sedikitnya 20 juta warga Jabar sudah menggunakan layanan tersebut.

Lantas, jika pengguna internet di Indonesia versi APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) tahun lalu mencapai 80 juta,maka sedikitnya 10 juta rakyat Jabar terbiasa mengakses dunia maya. Singkat kata, jika kita melihat statistik awal tadi, bisa dipastikan demikian menyebar dan mengakarnya TIK di masyarakat kita.

Jangan jauh-jauh, setidaknya di lingkungan kita, anak kita yang masih bocah sudah demikian fasih dan tak bisa lepas dari internet dalam kesehariannya. Dari mulai bermain game hingga berkawan,mereka lebih asyik di sana. Pun demikian dengan kita, dimana ponsel cerdas-komputer tablet-komputer personal adalah bagian rutinitas pekerjaan, yang sekalinya tak ada malah tak bisa kerja.
Dengan posisi sestrategis ini, otomatis muncul berbagai tantangan ke depan, terutama bagi sektor perpajakan di Indonesia. Manakala ada peluang-peluang baru, seketika itu pula hadir pekerjaan rumah dalam konteks optimalisasi penerimaan pendapatan bagi pemerintah.

Ambil contoh dengan tren belanja online masyarakat sebagai respon kondisi kota-kota besar yang terus macet dan menjurus stagnan lalu lintas. Tren e-commerce kian hari kian mudah kita temukan, bahkan bisa segera menjadi bentuk baru belanja di sekeliling kita.

Nah, sebagai sebuah pancingan awal,muncul pertanyaan mengenai bagaimana ketentuan perpajakan akan diterapkan bagi pebisnis e-commerce. Apakah pembeli dan penjual dikenakan tarif seperti transaksi konvensional? Ataukah karena sifat internet adalah anonim, maka bisa diakali jadi free tax?

Atau contoh lain dalam layanan uang digital seperti Paypal. Apakah si pengguna dan penerima uang digital tak perlu berkontribusi pajak kepada negara? Kalau memang ada aturannya, apakah bisa disamakan dengan transaksi uang giral?

Bentuk Antisipasi

Berbagai bentuk baru aktivitas ekonomi ini salah satunya diantisipasi Dispenda Jawa Barat melalui kehadiran Puslia. Sebagai unit relatif baru, Puslia telah mencoba mengantisipasi dengan mentransformasi sektor hulu. Yakni integrasi sistem via TIK pada seluruh kantor cabang, sehingga pengelolaan yang terpusat lebih memudahkan dalam mengontrol pendapatan bagi negara.

Secara simultan, selain menyatukan sektor hulu, pembenahan layanan di sektor hilir juga tengah dirintis Dispenda Jabar melalui Puslia (Pusat Pengelolaan Informasi dan Aplikasi Pendapatan). Misalnya rencana e-banking dalam pembayaran pajak bagi masyarakat yang direncanakan secepatnya Oktober 2014 nanti.

Dalam wadah lebih besar, spirit serupa sudah dilakukan Ditjen Pajak dengan penerapan pendaftaran, pelaporan, pembayaran, dan pengelolaan dokumen-dokumen pajak.

Melalui Direktorat Transformasi Proses Bisnis (TPB), Ditjen Pajak berusaha menyesuaikan pelayanan serta proses bisnisnya dengan turut memanfaatkan teknologi informasi yang ada dan berkembang saat ini. Transformasi proses bisnis difokuskan pada pelayanan, pengawasan dan penegakkan hukum, sehingga proses bisa lebih mudah, murah, dan cepat.

Ada pula terobosan berupa Sensus Pajak Nasional dengan membangun Data Processing Centre di tiga wilayah di Indonesia yaitu Jakarta, Makassar dan Jambi (sumber: pajak.go.id)

Terobosan selanjutnya adalah pembenahan administrasi PPN dengan aplikasi e-Nofa (Elektronik Nomor Faktur). Sekarang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sudah dapat dilakukan secara online menggunakan sistem e-Filling.

Bahkan, Direktorat Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak turut mendukung institusi pemerintah lainnya yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui proyek VAT Refund berbasis web bagi turis asing yang berbelanja di Indonesia. Turis yang berbelanja di Indonesia akan memperoleh restitusi pajak dari pemerintah. Proyek ini telah berjalan sejak 2010 dengan memilih 49 toko untuk berpartisipasi. Diharapkan VAT Refund berbasis web saat ini lebih banyak toko dapat mendaftar secara online dan turut berpartisipasi.

Jadi, terobosan-terobosan yang dilakukan para pengeloa pajak ini sebenarnya sudah sesuai dengan tren perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia. Pengelola terus memastikan bahwa penerimaan pajak sesuai dengan yang ditargetkan untuk pembangunan serta untuk semakin mempermudah wajib pajak untuk menjalankan kewajibannya sehingga kepatuhan pajak tercapai.

Maka tugas bersama untuk balik mendukung antisipasi yang sudah dilakukan Dispenda maupun Ditjen Pajak. Tidak keren dong jika kita melek TIK, namun selalu menghindari pajak ! (***)