Mengapa Pajak Rokok Harus Ganda?

Beberapa waktu lalu, aturan soal pajak rokok yang dikembalikan ke daerah sempat mencuat. Terutama tentang adanya pajak ganda dalam rokok, yakni adanya cukai rokok dan pajak rokok yang dikenakan bagi mereka para penghisap gulungan tembakau dan cengkih ini.

Pajak rokok daerah adalah pajak provinsi yang dipungut pemerintah pusat melalui kantor Bea-Cukai. Pajak ini nantinya disalurkan setiap tiga bulan sekali kepada pemerintah provinsi yang besarannya ditentukan berdasarkan proporsi jumlah penduduk dibanding jumlah penduduk Indonesia.

Mencuatnya aturan ini diawali ketika lima warga masyarakat yakni Mulyana Wirakusuma, Hendardi, Aizzudin, Neta S. Pane, dan Bambang Isti Nugroh, mengajukan permohonan uji materi UU No 28 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Soalnya, Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dari UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Untungnya, uji materi tersebut ditolak MK yang dipimpin Ketua-nya, Hamdan Zoelva. Pengadilan tertinggi peraturan ini memutuskan pajak rokok memang harus dipungut ganda karena obyek dan subjek pajaknya memang berbeda.

Dalam UU No. 11/1995 tentang cukai dan UU No. 39 tahun 2007 tentang perubahan UU No. 11/1995 tentang cukai, subjek cukai adalah pengusaha pabrik atau pengusaha penyimpanan dan atau importir, sedangkan objek cukai adalah hasil tembakau. Sebaliknya, objek pajak rokok dalam UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah adalah konsumsi rokok dan subjek pajak rokok adalah konsumen rokok.

Jadi, bisa kita simpulkan, bahwa pungutan cukai rokok sekaligus pajak rokok adalah politik perpajakan yang dimaksudkan untuk menambah pendapatan negara sekaligus sebagai kompensasi atas daya rusak atau akibat negatif dari rokok yang dapat merusak kesehatan.

Sebagian besar dari hasil pungutan pajak rokok harus digunakan untuk biaya bidang kesehatan. Dengan pungutan cukai sekaligus pajak rokok juga berdampak pada pengurangan jumlah perokok yan berdampak positif bagi perbaikan kesehatan masyarakat.

Dengan kata lain, kita bisa maknai, perokok diharapkan tidak akan menempatkan rokok sebagai salah satu kebutuhan pokok dan bisa menyalurkan uang untuk membeli rokok kepada hal lain yang dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Harga rokok yang tinggi juga dapat digunakan untuk menekan pertumbuhan jumlah perokok terutama di kalangan rentan, seperti anak dan orang miskin. Maka itu, perokok yang rela membakar uangnya untuk dapat mengkonsumsi rokok harusnya dapat membayar harga yang mahal termasuk di dalamnya cukai dan pajak yang tinggi bagi kompensasi dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Karena itulah, pajak rokok dibuat ganda dan selayaknya tidak ada lagi pertanyaan mengapa harus rangkap. Tidak relevan juga dimaknai jika pajak ganda ini adalah bentuk resisten atas industri rokok yang memiliki nilai bisnis maha besar.

Kita ketahui bersama, sejak diberlakukan Pajak Rokok Daerah mulai 1 Januari 2014 sesuai dengan UU Nomor 28 tahun 2009, setoran pajak rokok hingga akhir tahun 2014 diharapkan mencapai Rp 10 triliun.

Potensinya terlihat karena pita cukai rokok tahun 2013 mencapai Rp 100 triliun. Sementara itu, Besaran pajak rokok 10 persen dari nilai cukai. Maka, kita tak bisa membantah betapa besar nilai ekonomi di sini.

Namun di sisi lain, kita pun tak bisa menutup mata akan daya destruksi yang ditimbulkan dari asap rokok. Kepada perokok aktif, berbagai zat berbahaya bagi tubuh langsung meresap manakala kita menghisapnya.

Kemudian menjadi tidak adil, ketika berbagai riset menunjukkan, bahwa perokok pasif (yang sekedar menghisap karena berada di lingkungan yang sama), malah bisa menerima bahayanya lebih besar dari mereka para perokok aktif.

Pada titik ini, kita harus faham dan sepakat jika harga rokok di Indonesia terus merangkak naik imbas adanya kebijakan pajak ganda tadi. Stop mengeluhkan harganya yang melambung.

Terlebih kita mengetahui, jika mengacu UU PDRD, minimal 50 persen pajak daerah harus digunakan untuk kepentingan kesehatan masyarakat khususnya penanganan penyakit yang berhubungan dengan merokok. Selain itu, dapat digunakan untuk melakukan penegakan hukum terkait dengan penegakan perda yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Akhir kata, manakala manfaat yang diperoleh besar secara ekonomi namun minim secara kesehatan, maka sudah sewajarnya dan selayaknya ada kompensasi berlebih seperti penerapan pajak ganda rokok ini. (**)