Semua Terserah Padamu…

“…Dan kini semua kau katakan padaku /
Jangan ada dusta di antara kita kasih/ 
Semua terserah padamu aku begini adanya…”

Penggalan lagu legendaris biduan senior alm. Broey Marantika dan Dewi Yull ini tidaklah mudah lekang dalam ingatan. Terutama tentang kerelaan menyerahkan keputusan demi kebahagiaan bersama.

Akan tetapi, tentu bukan soal lirik ini yang akan dikupas. Dalam kontek perpajakan daerah, ada beberapa keputusan nasional terbaru yang sangat menguntungkan Jawa Barat secara prinsip. Namun ini hanya terjadi jika kita ikut berpartisipasi, semua akan tergantung pada kesadaran kita sebagai warga masyarakat.

Kebijakan pertama, terhitung sejak 1 Januari 2014, semua kabupaten/kota diwajibkan mengelola Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2).

Pengalihan ini merupakan bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Kewenangan yang diberikan ini tercantum dalam Pasal 80 UU PDRD dimana masing-masing Kabupaten/Kota dapat menentukan tarif PBB-P2 nya sendiri dengan ketentuan paling tinggi sebesar 0,3% dari sebelumnya hanya dipatok pada tarif efektif (tunggal) sebesar 0,1% atau 0,2%.

Artinya, seperti diwartakan pajak.go.id, secara legal, ada ruang bagi kabupaten/kota untuk menaikkan tarif PBB-P2 di wilayahnya. Namun, kebijakan tarif yang diambil oleh suatu kabupaten/kota juga hendaknya mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat di wilayahnya agar tidak menimbulkan gejolak di kemudian hari.

Dengan adanya pengalihan ini maka kegiatan pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan kabupaten/kota.

Adapun tujuan pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke kabupaten/kota adalah untuk memberikan kewenangan lebih besar dalam perpajakan dengan memperluas basis pajak daerah dan penetapan tarif pajak.

Dengan pengalihan ini, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke Pemerintah kabupaten/kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya.

Pada saat dikelola oleh Pemerintah Pusat, kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8% dari jumlah penerimaan PBB-P2 di wilayahnya. Tentunya, dengan dikelolanya PBB-P2 oleh kabupaten/kota dengan menjadi Pajak Daerah, maka penerimaan PBB-P2 akan 100% masuk ke kas kabupaten/kota tersebut.

Sebelumnya, pada Tahun 2011 hanya Kota Surabaya yang telah mengelola PBB-P2. Kemudian, untuk Tahun 2012 ada 17 Kabupaten dan Kota yang telah mengelola PBB-P2 dan untuk Tahun 2013 ada 105 Kabupaten dan Kota yang menyatakan kesiapannya mengelola PBB-P2.

Terakhir, kabupaten/kota yang belum menerima pengalihan PBB-P2 ini yaitu sebanyak 369 Kabupaten/Kota sudah mempersiapkan diri untuk mengelola PBB-P2 di wilayahnya masing-masing, sehingga diharapkan seluruh kabupaten/kota sudah sepenuhnya mengelola PBB-P2 per 1 Januari 2014.

Kebijakan kedua adalah pemberlakuan pajak rokok daerah yang dimulai 1 Januari 2014 mengacu UU No 28/2009. Melihat potensi pita cukai rokok pada 2013 sebesar Rp100 triliun, maka penerimaan pajak rokok di daerah diproyeksikan bisa menembus Rp10 triliun pada 2014.

Hingga akhir Januari tahun lalu saja, pendapatannya sudah fantastis mencapai Rp. 20 miliar, sehingga target Rp10 triliun bisa tercapai di akhir tahun ini. Penentuan besaran pajak rokok sendiri dihitung 10 persen dari nilai cukai.

Nantinya setiap tiga bulan sekali penerimaan pajak disalurkan kepada Pemerintah Provinsi dengan besaran berdasar proporsi jumlah penduduk dibanding jumlah penduduk Indonesia.

Sampai saat ini, sebagian besar provinsi telah memiliki Perda Pajak Rokok, sehingga berhak mendapat penerimaan pajak. Untuk pengggunaan hasil pajak ini, minimal 50 persen digunakan untuk promosi bidang kesehatan masyarakat khususnya penanganan penyakit yang berhubungan dengan merokok. Juga digunakan untuk melakukan penegakan hukum terkait penegakan Perda yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Belum lama ini, Plt. Kadispenda Prov. Jabar Iwa Karniwa menuturkan pihaknya menargetkan pajak rokok tahun ini Rp 1,5 triliun. Hal itu sebagai salah satu langkah peningkatan kemampuan daerah dalam pelayanan publik, khususnya kesehatan.

Selain itu, setali dengan kebijakan pusat, Iwa mengharapkan meningkatnya pajak rokok menjadi salah satu langkah pengendalian dampak negatif rokok. Apalagi, di Indonesia perokok meningkat dibandingkan negara-negara lain, khususnya negara ASEAN.

Nah, dua kebijakan pro daerah ini pada akhirnya akan bergantung kita sendiri. Jika kita taat aturan, taat membayar pajak serta mau berkontribusi kepada masyarakat lainnya, maka kita bisa menjadi bagian kebaikan di provinsi Tatar Sunda tercinta ini. So, semua terserah padamu….(**)