Pajak sebagai Solusi Kota

Tak bisa dipungkiri, kemacetan yang terjadi di sejumlah kota di Jawa Barat (Jabar), khususnya Bandung semakin hari semakin parah. Kemacetan bukan hanya terjadi pada akhir pekan, dimana Bandung dijejali wisatawan, tapi juga hari kerja, baik pagi, sore, juga siang. Kemacetan semakin parah jika hujan melanda Kota Bandung.

Akibat dari sebuah kemacetan bukan hanya mengakibatkan kerugian dari sisi waktu, tapi juga finansial. Kerugian terbesar tentu datang dari pemborosan energi fosil yang sejatinya tidak bisa diukur oleh uang karena cadangannya yang terbatas dan waktu pembentukan yang sangat lama, hingga berjuta tahun.

Dari sisi finansial, sebuah kajian menyebutkan, bahwa dampak kerugian yang ditimbulkan kemacetan di Bandung mencapai Rp 4,9 triliun per tahun, sementara di Jakarta mencapai RP 12,8 triliun per tahun. Angka yang tentu tidak sedikit jika digunakan untuk program pengentasan kemiskinan atau pembangunan infrastruktur.

Kerugian kemacetan Bandung tersebut bahkan mencapai lebih dari 50% pendapatan pajak kendaraan bermotor Jabar, yang pada 2013 mencapai Rp 9 triliun. Pendapatan pajak kendaraan bermotor ini memberikan kontribusi 80% pendapatan asli daerah (PAD) Jabar. Jadi, sudah terbayang, kan, berapa besar kerugian kemacetan?

Persoalan kemacetan sejatinya hadir sebagai imbas dari tidak seimbangnya supply dan demand. Dimana jumlah kendaraan naik dengan pertumbuhan sekitar 15%-20% per tahun, sedangkan pertumbuhan jalan raya hanya sekitar 1% per tahun.

Betapa besar gap pertumbuhan antara supply dan demand tersebut. Jika kondisi ini dibiarkan terus berlanjut tanpa solusi yang tepat, bukan hanya kerugian finansial yang akan membumbung semakin tinggi, tapi pada suatu saat jalanan di Bandung tidak bisa menampung kendaraan, sehingga bisa terjadi kemacetan total.

Salah satu solusi yang bisa ditempuh dan bisa memberikan efek ganda adalah kenaikan pajak kendaraan bermotor, selain meningkatkan partisipasti pajak masyarakat tentunya. Solusi kenaikan pajak ini bukan hanya berpotensi mengurangi jumlah kendaraan, tapi juga meningkatkan pendapatan pajak daerah.
Agar tidak memberatkan wajib pajak, besaran kenaikan pajak 5%-10% bisa ditempuh. Dengan demikian, penerimaan pajak dari langkah kenaikan bisa mencapai Rp 1 triliun di luar proyeksi peningkatan pajak kendaraan bermotor Jabar, yang tahun ini ditargetkan naik Rp 3 triliun, menjadi Rp 12 triliun.

Peningkatan pendapatan pajak kendaraan bermotor tersebut bisa dialokasikan untuk membangun infrastruktur jalan di Jabar. Bagi Bandung, pembangunan infrastruktur ini bisa memecah kemacetan, sedangkan untuk daerah lain yang belum rawan macet, bisa menjadi jembatan untuk menggerakan perekonomian daerah.

Akan tetapi, khusus untuk Kota Bandung, kenaikan pajak tentu harus disertai dengan pembangunan sarana transportasi massal, yang bukan hanya menjanjikan ketepatan waktu (cepat), tapi nyaman dan aman bagi masyarakat. Dengan demikian, masyarat akan lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibandingkan kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor.

Solusi tersebut harus dilakukan secara terintegrasi agar persoalan kemacetan yang semakin parah di kota-kota besar bisa diatasai. Di sisi lain, juga bisa memberikan dampak positif dari sisi perekonomian karena semakin kondusif kondisi infrastruktur suatu daerah, maka akan semakin besar potensi pertumbuhan ekonomi karena iklim usaha yang semakin baik.

Bagi wajib pajak kendaraan, kenaikan pajak yang berkisar antara 5%-10% tentu tak akan sebanding dengan dampak positif yang jauh lebih besar. Kenapa harus menolak kenaikan pajak yang besarannya jauh lebih kecil, jika dibandingkan dengan manfaat yang akan dikembalikan kepada masyarakat?

So, mari kita taat membayar pajak agar pembangunan berjalan lancar dan perekonomian Jabar semakin kuat dan mandiri.***